Rabu, 03 Januari 2018

AINA GAMZATOVA

Pernah dengar namanya? Dari namanya roman-romannya bisa ditebak ya asalnya. Sekitaran Asia Tengah.
Ya, dia seorang muslimah berasal dari Dagestan, wilayah Rusia. Dia muslimah berhijab berusia 46 tahun yang akan tampil menantang Vladimir Putin dalam pemilihan Presiden Rusia, Maret mendatang. Cantik, tinggi, kulit putih, hidung mancung, khas Asia Tengah. Meski jumlah penduduk muslim hanya berkisar 20 juta jiwa dari 140 juta jiwa penduduk Rusia, tapi Aina Gamzatova tak gentar melawan Putin, yang selalu diunggulkan.

Aina Gamzatova adalah satu dari sekian banyak  perempuan yang bertarung untuk memperebutkan posisi pemimpin disuatu negeri. Bahkan ada beberapa yang sudah berada ditampuk kepemimpinan, dan sudah ada yang pensiun juga..hehe. Sebut saja diantaranya :  mantan PM Inggris Margareth Thatcher, PM Bangladesh Sheik Hasina Wajed, Ratu Inggris Elizabeth II, Presiden Singapur Halimah Yacob, dan mantan Presiden RI Megawati Sukarnoputri.

Keberadaan perempuan diranah publik, tidak hanya dilihat pada pimpinan negaranya. Berbagai aktifitas lainnya juga mulai dibanjiri perempuan. Apalagi di legislatif. Di Indonesia saja kuota 30% bagi keterlibatan perempuan di legislatif sudah mulai digaungkan sejak pemilu 2009 yang lalu. Kebijakan afirmasi (affirmative action) atau kebijakan yang bersifat mendorong  perempuan dalam  bidang politik diterapkan, karena dunia politik masih diyakini kalangan feminis  sebagai dunia yang  arogan dan patriarkis. Setiap kebijakan yang dikeluarkan penguasa menurut mereka bias gender, karena kebanyakan yang bikin kebijakan laki-laki. Padahal jumlah penduduk Indonesia diproyeksi hingga tahun 2035 nanti sekitar 269,1 juta jiwa, dimana perempuannya ada sekitar 49,75% nya, atau kisaran 130,3 juta jiwa. Nah..hampir separo kan? Makanya kaum feminis getol sekali mengupayakan agar perempuan juga "hadir" dan berperan serta dalam menentukan kebijakan berkaitan dengan masalah-masalah perempuan. Tapi kira-kira nih, apakah kalau perempuan ikut jadi penentu kebijakan dan pengatur urusan rakyat terus masalah perempuan bisa teratasi?

Faktanya sampai hari ini persoalan yang menggelayuti perempuan masih sering terjadi. Walikota Surabaya, Ibu Tri Rismaharini  pada tanggal 29 Desember 2017 yang lalu baru saja mengujicoba sebuah angkutan umum di Surabaya, "Suroboyo Bus" yang akan beroperasi awal tahun ini. Bis ini didesain untuk memisahkan penumpang laki-laki dan perempuan, ramah ibu hamil dan kaum difabel. Ini salah satu indikasi bahwa selama ini sering dikeluhkan para perempuan kalau naik angkutan umum pasti  desak-desakan antara laki-laki dan perempuan, hingga rawan terjadi pelecehan seksual. Dalam laporan Catatan Tahunan (Catahu) Tahun 2017 Komnas Perempuan,  yang dilansir oleh kbr.id (8/3/2017)  disebutkan ada 259.000  kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Ketua Komnas Perempuan, Azriana, mengatakan kekerasan di ranah personal masih menempati urutan atas yakni 255.000 kasus. Bentuk kekerasan di ranah personal itu, jelasnya,  semisal kekerasan fisik, psikis, seksual, dan kekerasan ekonomi. Dia  juga menambahkan, jenis kekerasan yang paling banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah perkosaan (1.036 kasus) dan pencabulan (838 kasus). Adapun kekerasan di ranah Negara yang paling menonjol adalah kasus penggusuran. Ini memberi sinyal kepada kita bahwa persoalan perempuan itu terjadi tidak karena perempuan tak terwakili di parlemen. Namun karena tak tuntasnya sanksi hukum atas pelaku-pelaku kekerasan tsb.

Kesetaraan gender, ide yang mereka usung ini sebenarnya lahir dari episode kegelapan Eropa. Jauh sebelum Islam datang, perempuan di Eropa diperlakukan hanya sebagai pemuas hawa nafsu laki-laki semata. Mereka tak ubahnya barang yang diperjualbelikan. Zaman inilah yang dikenal sebagai zaman kegelapan di Eropa. Hingga sekitar abad 19 kaum perempuan ini menuntut berbagai haknya. Diantaranya, mereka menuntut menyimpan sendiri penghasilannya, menuntut hak waris, menuntut hak yang sama saat bercerai, menuntut hak upah yang sama, menuntut hak pilih dalam parlemen, dsb. Dan perjuangan mereka ini terus berlanjut hingga sekarang. Pada dasarnya kaum perempuan Barat ini mencari kebebasan dan kemandirian. Bebas dari dominasi laki-laki dan mandiri menentukan sikap dan mengelola harta pribadi.

Berbeda dengan Islam. Perempuan dalam Islam diposisikan sebagai Ibu dan pengatur rumah tangga. Dia juga sekaligus mitra bagi laki-laki. Perannya adalah penyeimbang bagi peran laki-laki. Mulianya perempuan adalah disaat dia dengan fitrahnya menjadi ibu dan pencetak generasi unggul. Perannya yang mampu melahirkan, menyusui dan mengasuh anaknya sungguh tak tergantikan oleh laki-laki. Sedangkan para lelaki punya kewajiban menafkahi, melindungi dan mengayomi kaum perempuan. Hingga dari kolaborasi  laki-laki dan perempuan inilah akan lahir generasi cemerlang umat Islam. Bayangkan jika peran mereka ini kita pertukarkan? Mungkinkah para lelaki akan mampu melahirkan dan merawat anak-anaknya? Sementara para perempuannya wara-wiri mencari penghidupan. Pastinya takkan didapat pelestarian generasi jika seperti ini.

Perempuan dalam Islam tak dilarang jika tetap ingin berkiprah diruang publik. Silahkan mau jadi guru, dosen, pedagang, dokter, arsitek, apapun asal halal. Yang tak boleh hanya satu, jadi pemangku jabatan pemerintahan.
Dari Abu Bakrah ra, telah berkata Nabi SAW: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan (kepemimpinan) nya kepada seorang wanita.” (HR. Ahmad, Bukhari, Tirmidzi, An Nasa'i)

Sedangkan menjadi pemimpin itu adalah tugasnya laki-laki. Tegas disampaikan Allah SWT dalam Alquran.
"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An Nisa : 34)

Jika saja Syariat Islam Islam dipakai dalam pengaturan relasi antara kaum laki-laki dan perempuan tentu takkan terjadi diskriminasi yang menyebabkan persoalan perempuan ini. Karena laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda, namun akan saling melengkapi satu sama lain ketika keduanya dijalankan. Dan ketika dilaksanakan sesuai dengan aturan Islam, tentu akan membawa kebaikan, kebahagiaan dan kemaslahatan dalam masyarakat. Coba saja kita buktikan.

Laila Thamrin
02012018

#Day2
#TemaIslamPolitik
#ODOP2018
#1Day1Post2018
#NulisYuk
#Revowriter
#AMK4
#PenulisBelaIslam
#BeraniNulisBeraniDakwah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar