Kamis, 28 Maret 2019

Siapa Dia?

Oleh : Laila Thamrin

Saat anak lahir, yang kesakitan luar biasa tapi pasti paling bahagia, siapa?

Saat anak sudah bisa ngomong, sudah bisa jalan, apalagi berlari, yang paling bangga, siapa?

Saat anak demam, yang gak bisa makan dan gak pengen tidur beberapa malam, siapa?

Saat anak mulai masuk sekolah, yang rela berjejer nungguin di depan pagar sampai gak masak buat makan siang, siapa hayo?

Saat anak dapat PR dari sekolah, yang paling sibuk nyariin jawaban, kira-kira siapa?

Saat ulangan umum, yang rempong nyuruh anak belajar, siapa coba?

Saat fajar mulai menyapa, yang mengguncang-guncang badan anaknya supaya lekas ngambil air wudhu, siapa?

Saat jam masuk sekolah hampir tiba, yang memburu anak-anaknya supaya bergegas berangkat sekolah, siapa?

Saat anak lulus tingkatan demi tingkatan  sekolahnya hingga sarjana, yang meneteskan air mata, siapa?

Saat anak lelakinya mengucap ijab kabul, yang membanjir airmatanya, siapa?

Saat anak perempuannya dipersunting seorang lelaki, yang terisak tanpa suara, siapa?

Saat seorang cucu hadir mewarnai hidup mereka, yang ribut mau mengasuhnya, siapa?

MasyaAllah....semua jawaban bermuara pada satu kata .... IBU.

Dia hadir dalam setiap tahap perkembangan anaknya. Dia hadir dalam setiap bahagia anaknya. Dan dia hadir dalam setiap sedih dan duka anak-anaknya. Karena seorang ibu, telah diberikan anugrah terindah oleh Allah yang memiliki kasih sayang dan kelemahlembutan bagi anak-anaknya.

Dan ingatlah wahai anak, seberapa besar pun engkau sekarang, seberapa pun usiamu saat ini, maka muliakanlah kedua orangtuamu. Terutama, Ibumu. Berbaktilah pada keduanya, lebih-lebih ibumu.

Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw bersabda, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Wallahu'alam bish shawwab. []

21 Rajab 1440 H / 28 Maret 2019

#MenyalaBersamaRevowriter
#Revowriter5

#SerialTaqarrubIlallah05

Oleh : Laila Thamrin

Takut Kepada Allah Swt

Suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab ra terlihat menangis saat seorang ajudannya menceritakan bahwa seekor keledai di Iraq telah tergelincir kakinya karena jalanan yang berlubang. Akibatnya keledai itu pun meluncur ke jurang.

Sang ajudan keheranan melihat ekspresi Umar bin Khattab ra yang terkenal keras dan tegas, bisa menangis hanya karena seekor keledai yang terjungkal. Akhirnya, ajudan itu berkata, "Wahai Amirul Mukminin, bukankah yang mati hanya seekor keledai?"

Dengan sorot mata yang tajam Khalifah menjawab,"Apakah engkau sanggup menjawab di hadapan Allah ketika ditanya tentang apa yang telah kamu lakukan ketika memimpin rakyatmu?"

MasyaAllah...begitu besar tanggung jawab Khalifah Umar bin Khattab ra terhadap rakyatnya. Pandangannya yang jauh ke depan membuat dia menangis saat "hanya" seekor keledai yang terjatuh ke jurang karena jalanan yang rusak dan berlubang. Karena lubang di jalanan tersebut tak hanya bisa membuat keledai celaka, tapi juga sangat besar kemungkinannya manusia pun celaka karenanya.  Dan dia sebagai pemimpin merasa telah lalai untuk memberikan pelayanan terkait dengan jalan di Iraq. Maka, ketakutan segera menyelusup ke seluruh tubuhnya. Hingga airmata tak sanggup lagi dibendungnya.

Ya, beliau merupakan contoh seorang pemimpin yang sangat layak diteladani. Pemimpin yang sangat perhatian pada rakyatnya. Bertanggungjawab penuh untuk menyejahterakan rakyatnya. Bahkan beliau tak pernah mau makan enak, sebelum rakyatnya kenyang. Mengapa kiranya Khalifah Umar bin Khattab ra bisa seperti itu?

Takut kepada Allah Swt jawabannya. Karena beliau takut akan murka dan azab Allah jika melanggar syariat-Nya.
Benarlah hadits Qudsi ini :
"Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, aku tidak akan menghimpun terhadap hamba-Ku dua rasa takut dan dua rasa aman. Jika dia takut kepada-Ku di dunia, maka aku beri rasa aman padanya pada Hari Kiamat.  Sebaliknya, jika dia merasa aman dari-Ku di dunia maka Aku beri dia rasa takut pada Hari Kiamat." (HR. Ibnu Hibban, al-Baihaqi, Ibnu al-Mubarak)

Menjadi seorang pemimpin perlu wawasan yang luas. Visi dan misi yang ideologis. Agar kesejahteraan rakyat terpenuhi seluruhnya. Serta tak tergiur pada harta duniawi semata.

Jika kita ambil ibrohnya, bahwasanya rasa takut yang harus dibagun adalah takut akan azab Allah Swt. Sehingga menuntut kita untuk tetap berada dalam koridor syariat Islam. Tak keluar barang sedikit pun.

Terlebih lagi para da'i yang menyuarakan Islam yang hakiki, yaitu Islam Kaffah. Harus senantiasa berani menyampaikan kebenaran, meski celaan orang-orang yang suka mencela datang bertubi-tubi. Bahkan persekusi tak jarang pula akan dialami. Takutnya hanya pada Allah Azza wa Jala. Yang justru akan menimpakan azab bagi orang yang lalai atau bahkan benci terhadap syariat-Nya.

Wallahu'alam bish shawwab. []

Handil Bakti, 10032019

#OPEy2019
#Part7
#Day7
#Gemesda
#MenyalaBersamaRevowriter
#Revowriter5

#SerialTaqarrubIlallah04

Oleh : Laila Thamrin

Meraih Nilai Tertinggi

Saat bicara tentang nilai tertinggi, apa kira-kira yang terbayang oleh kita? Ranking kelas? Juara pertama? Murid teladan? Mahasiswa terbaik? Atau seseorang yang kuliah di universitas ternama di dunia?

Ya, semua tak keliru. Persepsi tentang nilai terbaik senantiasa dikaitkan dengan nilai akademis di institusi pendidikan. Mereka yang meraih nilai terbaik merupakan orang-orang terpilih karena kecerdasannya. Namun, penilaian terhadap akademis berada di tangan manusia. Lalu, bagaimanakah kira-kira seorang muslim bisa meraih nilai tertinggi di mata Allah?

Allah Swt berfirman :

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah, "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS. at-Taubah [9] : 24)

Ternyata, nilai tertinggi di mata Allah adalah menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih disukai daripada dunia dan segala isinya. Di sinilah seorang muslim dituntut untuk mengorbankan semua kepentingannya di dunia. Melepaskan ikatan-ikatan kelompok yang memilinnya di dunia. Kemudian, mengubahnya dengan memosisikan dakwah sebagai poros utama dalam kehidupannya. Inilah bukti keimanan seorang muslim. Tunduk dan patuh pada perintah Allah. Ikhlas menjalankan semua perintah-Nya.

Rasulullah Saw telah mengajarkan kepada kita skala prioritas pelaksanaan amal. Sebagaimana sabda beliau :
"Jika kalian berjual beli secara al-'ainah dan kalian mengambil ekor sapi serta kalian lebih rela dengan tanaman pertanian, sementara kalian meninggalkan jihad, maka Allah timpakan atas kalian kehinaan yang tidak Dia cabut sampai kalian kembali lepada agama kalian." (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Begitulah Allah dan Rasul-Nya telah mengajarkan kepada kaum muslimin untuk memilah amal dengan cermat. Dan tak salah jika dakwah 'amar ma'ruf nahyi munkar, menjadi posisi teratas dalam prioritas amal.

Aktivitas dakwah telah diperintahkan Allah. Karena dengan berdakwah, Islam akan tersebar ke seluruh penjuru dunia. Tengoklah, bagaimana Salafus Saleh dulunya berjuang meninggikan kalimat Allah. Mereka benar-benar menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih utama dari kesenangan apapun juga di dunia ini.

Lihatlah Khalid bin Walid ra yang berkata, "Tidak ada satu malam pun di dalamnya diberikan kepadaku pengantin atau aku diberi kabar gembira dengan lahirnya anak laki-laki, yang lebih aku sukai dari satu malam yang dingin mencekam dalam satu ekspedisi dari para mujahidin untuk memerangi orang-orang musyrik esok harinya."

Begitu juga cerita Sa'ad bin Abi Waqash ra. Seorang yang dulunya kafir, lalu masuk Islam. Namun ibunya terus berupaya agar Sa'ad kembali pada agama asalnya. Ibunya memboikot Sa'ad dengan tak mau makan apapun juga, kecuali anaknya meninggalkan Islam. Namun, dengarlah penuturan Sa'ad bin Abi Waqash :
"Engkau tahu, demi Allah wahai Ibu, seandainya engkau punya seratus nyawa lalu keluar satu persatu, aku tidak akan meninggalkan agamaku. Ini makanlah jika engkau mau atau jangan engkau makan."

Subhanallah...itu hanya contoh kecil yang bisa kita jadikan ibroh. Dari situ kita mesti berkaca pada diri kita, apa yang sudah kita lakukan agar bisa meraih nilai terbaik di sisi Allah? Sudahkah kesenangan dunia lebih kecil dalam pandangan kita? Bagaimana dengan keluarga kita, apakah mereka lebih berharga daripada Allah dan Rasul-Nya?

Mulai lah kita berbenah untuk menjadikan Allah dan Rasul-Nya yang utama. Salatlah di awal waktu. Berpuasalah dengan gembira di bulan Ramadhan. Jagalah pergaulan dengan lawan jenis yang non mahram. Berdakwahlah dengan segenap curahan kemampuan yang kita punya. Dan raihlah nilai tertinggi di sisi Allah Azza wa Jala, agar pintu surga terkuak untuk kita.

Wallahu a'lam bish shawwab. []

Handil Bakti, 09032019

#OPEy2019
#Part7
#Day6
#Gemesda
#MenyalaBersamaRevowriter
#Revowriter5

#SerialTaqarrubIlallah03

Oleh : Laila Thamrin

Merapat Pada Allah dengan Amalan Nafilah


Para sahabat dan salafus saleh merupakan generasi terbaik yang memberikan teladan terbaik pula. Sosok mereka tak hanya sekokoh karang memegang yang wajib dan menjauhi yang haram. Namun juga, selalu berhias dengan amalan nafilah.

Amalan nafilah atau sunnah, bagi para Sahabat dan salafus salih, bukanlah sebagai amalan kelas dua yang tak menggiurkan. Tapi sebaliknya, setiap ada kesempatan, mereka senantiasa melakukan yang sunnah untuk menambah pundi pahalanya. Bahkan terlihat seolah yang sunnah pun seperti sebuah kewajiban. Saking bersemangatnya mereka melaksanakannya.

Kita pun patut bercermin pada kebiasaan baik mereka ini. Karena Rasulullah Saw juga telah memberikan suri teladan yang terbaik bagi kita, umatnya. Beliau selalu memotivasi kaum muslimin agar terus melaksanakan kebaikan.

Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, "Hendaknya kalian melaksanakan qiyamul lail (salat tahajjud), sebab sesungguhnya itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian, mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, menjadi penebus untuk berbagai keburukan, melarang dari dosa, mengusir/menjauhkan penyakit dari jasad, dan di dalam malam itu ada saat-saat yang di dalamnya doa diijabah." (HR. Ath-Thabarani, at-Tirmidzi, Ahmad, dll)

Salat tahajjud merupakan momen yang paling tepat bagi semua mukmin untuk bersujud dan mengadukan apapun kepada-Nya, diluar salat wajib tentunya. Terlebih para pengemban dakwah yang menginginkan segera tegaknya syari'at Allah Swt di bumi ini. Dengan sistem Khilafahnya. Dengan seluruh peraturan hidupnya yang berpijak pada Alquran dan as-Sunnah. Minta lah kepada Allah saat tahajjud, agar semua bisa terwujud.

Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, "Saya tidak menemukan dari ibadah sesuatu yang lebih kuat daripada salat di tengah malam." Ditanyakan kepadanya, "Mengapa orang yang melakukan salat tahajjud termasuk manusia yang paling bagus wajahnya?"  Beliau menjawab, "Sebab mereka berkhalwat dengan ar-Rahman (Zat Yang Maha Pengasih), maka Dia memakaikan pakaian dari cahanya-Nya kepada mereka."

Banyak lagi amalan sunnah lainnya. Seperti salat dhuha, salat tarawih, salat witir, salat istikharah, dan lainnya. Juga memperbanyak sedekah, menunaikan zakat, puasa sunnah, dan sederet kebaikan lainnya. Apabila kita rajin mengamalkannya, maka akan merapatkan jarak kita dengan  Al Khalik. Dan apapun doa kita, niscaya Allah akan senang mengijabahnya.

Tengoklah kisah kemenangan Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk Konstantinopel. Dia perintahkan pasukannya untuk berpuasa di hari Senin, 19 Jumadil Ula tahun 757 H. Sebagai upaya bertaqarrub kepada Allah, sekaligus penyucian jiwa-jiwa para ksatria ini agar siap berperang. Setelah berbuka dan melaksanakan salat berjama'ah, Sulthan pun berkhutbah di depan pasukannya untuk memompa semangat mereka. Hingga keesokan harinya, pasukan ini pun meringsek memasuki Konstantinopel melalui gunung, membawa kapal-kapal mereka mendaki. Sampai pertolongan Allah pun menghampiri mereka. Dan kemenangan tersemat manis di dada pasukan al-Fatih.

Kisah fenomenal ini menjadi bukti kepada kita, betapa amalan nafilah, yaitu puasa sunnah yang dilaksanakan oleh pasukan Sulthan Muhammad al-Fatih telah menghantarkan kemenangan besar bagi umat Islam.

Karenanya, mulai sekarang berapa pun usia menjelang, kita upayakan untuk terus meningkatkan amalan nafilah ini.  Supaya semakin rapat dengan-Nya. Dan terus berdoa agar pertolongan Allah untuk tegaknya syariat Islam ini disegerakan oleh-Nya.
Aamiin.

Handil Bakti, 08032019


#OPEy2019
#Part7
#Day4
#Gemesda
#MenyalaBersamaRevowriter
#Revowriter5

Rabu, 13 Maret 2019

#SerialTaqarrubIlallah02

Indahnya Membaca Alquran
Oleh : Laila Thamrin


Rasulullah Saw bersabda :
"Sesungguhnya orang yang di dalam hatinya tidak ada sesuatu pun dari Alquran adalah seperti rumah yang roboh." (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, ath-Thabarani, al-Hakim, al-Baihaqi)

Pernah melihat orang yang limbung karena banyak masalah? Atau justru pernah anda merasakan sendiri begitu banyaknya masalah mengepung? Lalu, jika anda baca Alquran perlahan-lahan, bagaimana rasanya?

Saya pernah merasakan itu. Begitu banyaknya ujian yang seolah menghimpit hidup ini. Namun ketika saya mengakrabkan diri dengan membaca Alquran, seolah semua ujian itu ringan dipikul. Dan jalan keluar pun berdatangan.  Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw, bahwa Alquran seperti nyawa dalam sebuah rumah, jika tak ada sentuhan Alquran akan robohlah rumah itu.

Alquran merupakan kalamullah. Berisi tentang petunjuk hidup manusia selama di dunia. Merupakan satu-satunya kitab di dunia yang jika dibaca oleh manusia akan mendatangkan pahala bagi pembacanya, juga yang mendengarkannya. Bahkan pahala yang di dapat dinilai huruf demi huruf, meski si pembacanya terbata-bata.
"Barangsiapa membaca satu huruf dari kitabullah (Alquran) maka baginya satu pahala kebaikan. Dan satu pahala kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali. Aku tidak mengatakan ALIF LAAM MIIM itu satu huruf, akan tetapi ALIF satu huruf, LAAM satu huruf, dan MIIM satu huruf." (HR. Tirmidzi)

Rugi sekali jika telah mengaku Muslim, namun jarang menyentuh Alquran. Karena membaca Alquran mendekatkan diri kita kepada Allah Swt.
Allah Swt berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur'an) dan melaksanakan salat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi." (QS. Fathir [35] : 29)

Rasulullah Saw sering memilih pemimpin suatu delegasi untuk urusan negara dari banyaknya hafalan mereka. Yang paling banyak hafalannya, atau yang paling bagus bacaannya, itulah yang terpilih.

Dalam hadits Abu Hurairah ra berkata, "Rasulullah Saw mengutus delegasi berjumlah beberapa orang, lalu beliau meminta mereka membaca Alquran. Beliau meminta tiap orang untuk membaca Alquran, yakni yang dia hafal. Beliau datang kepada salah seorang laki-laki dari mereka yang paling muda usianya. Beliau bersabda, "Apa yang engkau hafal, ya Fulan?" Dia menjawab, "Aku hafal ini dan ini dan surat al-Baqarah." Rasulullah saw pun bersabda, "Apakah engkau hafal surat al-Baqarah?" Dia menjawab,"Benar." Rasulullah saw bersabda,"Berangkatlah, dan engkau menjadi pemimpin (amir) mereka." (HR. Ibnu Hibban)

Begitu istimewa orang yang membaca Alquran dan mampu menghafalnya. Orang yang membaca Alquran hendaknya dalam keadaan khusyu', tadabbur dan tunduk. Disunnahkan hingga menangis dan berusaha menangis. Disunnahkan juga membacanya seperti Rasulullah Saw, yaitu dengan tartil, tidak lambat dan tidak cepat. Beliau membaca dengan jeda di tiap ayat.

Jadikanlah Alquran teman terbaik kita. Di kala suka maupun duka. Bacalah di setiap kesempatan yang kita punya. Resapi isinya. Dijalankan semua perintah yang ada di dalamnya. Jauhi larangan Allah yang termaktub di sana. Karena Rasulullah Saw bersabda, "Bacalah Alquran karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa'at kepada orang yang membacanya." (HR. Muslim)

Wallahua'lam bish shawwab.[]

Handil Bakti, 13032019

#MenyalaBersamaRevowriter
#Revowriter5

Rabu, 06 Maret 2019

#SerialTaqarrubIlallah01

Oleh : Laila Thamrin

Ihsanu al-'Amal

Allah Swt berfirman :

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
"yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun." (QS. Al Mulk[67] : 2)

Ihsanu al-'Amal bermakna amal yang baik. Menurut para imam salaf rahimahullah, supaya amal itu menjadi baik maka harus terkandung dua hal di dalamnya. Pertama, ikhlas semata-semata melakukannya karena Allah. Kedua, sesuai dengan syara'.

Sebagaimana ucapan seorang tokoh terkemuka di masa tabi'it tabi'in, Fudhail bin 'Iyadh tentang surah al-Mulk ayat 2 tersebut. Dia berkata, "Yakni yang paling ikhlas dan yang paling benar." Lalu dikatakan, "Wahai Abu 'Ali, apa itu yang paling ikhlas dan paling benar?" Dia berkata, "Sesungguhnya amal perbuatan itu jika tepat tetapi tidak ikhlas, maka tidak diterima. Sebaliknya, jika ikhlas tapi tidak benar, juga tidak diterima. Amal tidak diterima sampai merupakan amal yang ikhlas dan benar. Ikhlas adalah amal dilakukan karena Allah. Dan benar adalah berada di atas as-sunnah."

Begitu gamblang apa yang diterangkan oleh Fudhail bin 'Iyadh tentang amal yang baik ini. Maka, perlu kiranya kita menengok kembali ke belakang, sudahkah amal kita memenuhi dua kriteria ini? Dan yakinkah kita bahwa amal kita akan terima Allah Swt?

Terkadang kita lupa untuk meniatkan amal kita hanya karena Allah. Tapi inginnya terlihat baik di mata manusia. Nastaghfirullah!
Apalagi jika ternyata yang kita lakukan tak ada syari'atnya dalam Islam. Bagaimana amal kita bisa diterima oleh-Nya?

Contoh nih, seseorang yang suka berderma ke anak yatim, juga kaum gelandangan dan orang-orang miskin lainnya. Niatnya sedekah sih, tapi setelahnya tebar berita ke medsos. Akhirnya pujian pun mengalir padanya. Nah, yang begini hati-hati ya amalnya tertolak. Karena niatnya tak ikhlas, meski caranya sesuai syariat Islam.

Atau berderma secara ikhlas karena Allah, tak menyebarkan beritanya kemanapun. Namun harta yang disumbangkan dari hasil keringat yang tak halal, semisal korupsi, berjudi, jualan narkoba, atau hasil kecurangan dalam berdagang. Maka yang demikian pun bisa tertolak amalnya.

Al-Hasan bin ar-Rabi' mengatakan tentang jihadnya al-Imam al-Jalil Abdullah bin al-Mubarak : Seorang penunggang kuda keluar dari barisan pasukan kaum Muslim seraya mengenakan penutup wajah lalu membunuh tentara Persia yang membunuh kaum Muslim, maka kaum Muslim pun bertakbir untuknya. Lalu dia masuk ke tengah kerumunan orang dan tidak ada seorang pun yang mengetahui dia. Aku ikuti dia sampai aku memintanya karena Allah agar dia mengangkat penutup wajahnya maka aku pun mengenalnya, lalu aku katakan, "Engkau sembunyikan diri dengan kemenangan besar yang Allah Swt mudahkan melalui kedua tanganmu?" Maka dia berkata,"Apa yang aku lakukan untuk Dia (Allah Swt) maka tidak tersembunyi bagi-Nya."

Begitulah gambaran amal seseorang yang ikhlas karena Allah Swt dan sesuai dengan syara'. Amal seperti inilah yang akan diterima oleh Allah. Tak peduli apakah manusia lainnya melihat atau tidak apa kebaikan yang dia lakukan, yang penting Allah tahu dan ridha' atasnya, itu cukup baginya.

Karenanya, bagi setiap Muslim harus terus memupuk sifat seperti ini sebagai upaya taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Yang beramal kebaikan sesuai hukum syara' dan melakukannya ikhlas karena Allah semata. Dan inilah sebaik-baik amal yang akan mendatangkan pahala.

Batola, 06032019

#OPEy2019
#Part7
#Day3
#Gemesda
#MenyalaBersamaRevowriter
#Revowriter5

#SerialTaqarrubIlallah

Oleh : Laila Thamrin

Disarikan dari Kitab "Taqarrub Ilallah" karya Fauziy Sinuqruth.
InsyaAllah enam hari ke depan akan kita ulas bagian-bagian dari buku ini.

========================

Mukaddimah

Allah Swt berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang berkata, "Tuhan kami adalah Allah," kemudian mereka tetap istiqamah, tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati." (QS. al-Ahqaf[46] : 13)

Istiqomah. Satu kata yang singkat, namun dalam maknanya. Secara umum istiqomah bermakna konsisten menjalankan kebaikan dan teguh dalam pendirian menjalankan apa yang diridhoi oleh Allah Swt.

Bagi seorang mukmin, menjaga keistiqomahan merupakan perjuangan. Apalagi di tengah terpaan pemikiran Barat yang kian menderas. Umat Islam diserang dari berbagai sisi. Dilabeling dengan berbagai cap menyudutkan, semisal teroris, fundamentalis, radikalis, ekstrimis, dan sebagainya. Lalu menegatifkan ungkapan-ungkapan yang berasal dari Islam sehingga terkesan sederhana atau bahkan buruk, padahal memiliki makna yang berseberangan dengan yang mereka gaungkan, seperti jihad, poligami, kafir, dsb. Sungguh, dalam kondisi seperti ini seorang mukmin wajib untuk tetap istiqomah dengan Dienullah, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam surah al-Ahqaf ayat 13 tersebut di atas.

Dan agar keteguhan kita berpegang pada tali agama Allah tetap kokoh, maka sangat penting kita untuk menguatkan pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) kita. Dan tentu saja Islam sebagai landasan pijakannya. Agar tetap terjaga kepribadian Islam (Syakhsiyah Islamiyah) di dalam diri kita sebagai seorang mukmin.

Karenanya, bertaqarrub ilallah merupakan salah satu upaya agar kekuatan Syakhsiyah Islamiyah kita tetap terjaga. Memperbaiki niat, membaca Alquran, memperbanyak amalan nafilah, mengelokkan akhlak, memperbanyak doa, dzikir dan istighfar, dan perkara-perkara lainnya. Maka jika kita telah dekat kepada Allah Swt, apapun yang kita minta selama tak menyalahi syariat-Nya, maka Allah akan mudah mengabulkannya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Allah Ta'ala berfirman : "Aku menurut sangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya apabila ia ingat kepadaKu. Jika ia ingat kepadaKu dalam dirinya maka Aku mengingatnya dalam diriKu. Jika ia ingat kepadaKu dalam kelompok orang-orang yang lebih baik dari kelompok mereka. Jika ia mendekat kepadaKu sejengkal maka Aku mendekat kepadanya sehasta. jika ia mendekat kepadaKu sehasta maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil." (HR. Bukhari).

Maka, apa lagi yang menghalangi kita untuk bersegera merapat kepada-Nya? Padahal fajar kemenangan semakin mendekat ke hadapan kita. Agar doa kita segera diijabah oleh-Nya. Dan kejayaan peradaban Islam segera kembali berada di genggaman umat Islam.
Allahu Akbar!

Batola, 05032019

#OPEy2019
#Part7
#Day2
#MenyalaBersamaRevowriter
#Gemesda
#Revowriter5