Senin, 23 April 2018

HUJAN BATU BERTUBI-TUBI

Hujan batu di negeri sendiri lebih disuka dibanding hujan emas di negeri orang.

Hujan batu menggambarkan ujian begitu berat. Tapi jika di negeri sendiri tentu lebih disuka karena banyak saudara dan handai tolan yang menemani dan menguatkan.

Sementara, biar pun hujan emas yang berarti kelimpahan rezeki yang banyak, tapi jauh dari saudara dan keluarga justru menjadi terasa sulit. Karena rindu itu berat. Meski dijejali dengan materi yang berlipat-lipat. Pasti takkan kuat. Suatu hari tetap berharap balik ke kampung halaman.

Namun, jika ujian berat itu diciptakan sendiri, apakah layak dikatakan sebagai ujian? Dijualnya sumber daya alam yang melimpah kepada orang asing. Sampai gunung dan pulaunya pun diserahkan. Sedangkan rakyat sendiri hidup melarat. Bukankah ini kesengsaraan yang diciptakan sendiri?

Mempersilakan tamu datang dan masuk ke dalam rumah kita, tentu adab yang baik bagi seorang Muslim. Namun jika tamu yang datang tujuannya menjarah isi rumah kita, bahkan hampir menguasai seluruh rumah, layakkah kita bukakan pintu?

Karena masyarakat Indonesia terkenal terbuka, ramah tamah, suka menolong dan pemaaf. Harus relakah kita jika lahan garapan kita dalam bekerja tiba-tiba direbut paksa oleh orang-orang asing yang berdalih mencari kerja pula? Bahkan gaji mereka melampau gaji para pekerja asli anak negeri. Tentu kecemburuan kan menyelimuti.

Rasanya hujan batu di negeri sendiri datang bertubi-tubi. Tak kenal waktu lagi. Pagi, siang, malam. Akankah kita tetap bahagia di negeri sendiri? Tentu saja tidak!

Semua karena diterapkannya sistem Kapitalis Sekuler yang menihilkan peran Pencipta serta mengagungkan kebebasan pada manusia. Hingga kerusakan umat manusia pun begitu terasa. Tak ada lagi rasa tenang dan tentram bagi jiwa pribadi mau pun keluarga. Yang ada hanyalah kebahagiaan semu sesaat dipayungi demokrasi.

Penderitaan yang bertubi-tubi ini harus dihentikan.  Agar kita tak mewariskan kemiskinan dan kenestapaan berketerusan. Harus ada perubahan sistem kehidupan. Yang menjadikan Allah SWT satu-satunya pegangan. Dan Rasulullah Saw sebagai suri teladan sejati.

Tentu harapannya, kita dan generasi sesudah kita menjadi generasi terbaik. Khoiru Ummah. Yang akan mengembalikan kejayaan Islam seperti dimasa Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin. Dan menjadikan peradaban Islam tegak kembali. Serta menjadi penjaga Islam yang lurus.

Hingga hujan emas dinegeri sendiri lebih disukai daripada hujan batu yang bertubi-tubi.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرٰىٓ ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالْأَرْضِ وَلٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنٰهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al A'raf : 96)

Laila Thamrin
23042018

#GerakanFBUntukDakwah
#DakwahTakMeluluCeramah
#StatusmuPahalamu
#Revowriter

ANTARA KARTINI, FEMINISME DAN UMMU SULAIM

Di Indonesia, tanggal 21 April  biasanya diperingati sebagai Hari Kartini. Jargon emansipasi perempuan pun digaungkan bersamaan datangnya peringatan ini.
Benarkah emansipasi  mampu mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan?

Banyaknya kaum perempuan yang sudah bertebaran di ruang publik ternyata tak menjamin hak perempuan terpenuhi. Bahkan posisi perempuan yang saat ini menempati legislatif, yudikatif dan eksekutif pun tak memberikan perubahan yang berarti. Terbukti kekerasan terhadap perempuan makin marak terjadi. Sebagaimana catatan Komnas Perempuan bahwa pada tahun 2017 setidaknya 173  perempuan meninggal akibat kekerasan seksual dan pembunuhan yang dilakukan oleh laki-laki, baik sebagai pacar, suami, paman atau ayah sendiri (bbc.com).

Ini artinya, ide kesetaraan gender itu absurd. Tak mungkin diwujudkan. Karena jika terwujud, justru kerusakan tatanan kehidupan semakin parah. Lihat saja negara-negara Skandinavia. Bagaimana kesetaraan gender telah menambah deretan masalah baru. Mereka kehilangan sosok ibu yang menjadi pencetak generasi, sekaligus pengayom dan pendidiknya. Bangunan rumah tangga menjadi goyah karena suami dan isteri sama-sama beraktifitas di ruang publik. Perceraian jadi pilihan. Sementara pernikahan tak lagi sakral bagi mereka. Alhasil, angka kelahiran menukik tajam. Lost generation pun menanti. Ditambah berbagai kekerasan terhadap anak dan perempuan, serta kriminalitas anak. Tatanan masyarakat seperti inikah yang dikehendaki?

Padahal Rasulullah Saw bersabda, "Nikahilah perempuan yang pecinta dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu dihadapan  umat-umat terdahulu." (HR. Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Hibban, dan Hakim dari jalan Ma'qil bin Yasar)

Tapi kenapa Kartini selalu dikaitkan dengan perjuangan kesetaraan gender ini? Padahal jelas di dalam suratnya  tertanggal 4 Oktober 1902 yang ditujukan kepada Prof Anton dan isterinya berbunyi, "Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami ingin anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar kaum wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama."

Ternyata Kartini menginginkan agar kaum perempuan di zamannya bisa terdidik. Bahkan pendidikan yang mampu membuat kaum perempuan cakap dalam melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan pendidik generasi. Dan ini selaras dengan pemahaman Islam yang dianutnya. Bukan tuntutan kesetaraan gender seperti yang diusung kaum feminis.

Ide emansipasi atau feminisme yang digaungkan oleh Barat ini lahir dari liberalisme sekuler. Yang mengerdilkan peran Tuhan. Dan mengagungkan akal manusia. Well, jadilah masalah yang menimpa perempuan menurut mereka harus diselesaikan oleh perempuan, dari perempuan dan untuk perempuan. Dan ide ini digulirkan menembus sekat-sekat negara. Terus bergulir menerobos waktu, sejak terjadinya Revolusi Industri di abad 19 hingga kini di abad 21.

Tentu saja, ide feminisme ini tak layak dijadikan pegangan umat Islam. Ide ini menginginkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Yang akhirnya menggerus peran ibu, merusak generasi, bahkan menciutkan jumlah populasi muslim. Dan akibat terhebatnya yaitu musnahnya generasi muslim.

Karenanya, edukasi kepada muslimah sangat diperlukan. Agar muslimah memahami betapa pentingnya peran mereka dalam masyarakat. Betapa mulianya mereka dalam keagungan syariatNya. Islam mengajarkan bahwa perempuan diciptakan untuk menjadi partnernya laki-laki.
Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya kaum wanita adalah saudara kandung dengan kaum laki-laki." (HR. Abu Dawud dan an Nasa'i)

Perempuan bukanlah objek yang posisinya dimarginalkan. Tapi justru perannya tak bisa disepelekan. Dia setara dengan laki-laki sebagai manusia yang memiliki akal, kebutuhan naluri dan kebutuhan jasmani. Namun disisi lain, hak dan kewajibannya berbeda dengan laki-laki. Dan tanpa perempuan tak mungkin ada generasi baru terlahir. Di tangan perempuanlah lahir sosok-sosok hebat yang diukir sejarah.

Siapa yang tak kenal Anas bin Malik ra, satu dari tujuh Sahabat Rasul yang meriwayatkan hadits terbanyak. Ternyata dia terlahir dari seorang ibu yang cerdas, penyabar dan pemberani, dialah Ummu Sulaim. Dia memiliki julukan Rumaisha'. Dialah seorang penghuni surga yang dikabarkan langsung oleh Rasulullah Saw. Dari jalan Jabir ra, Rasulullah Saw bersabda, "Ketika aku masuk Jannah, tiba-tiba aku melihat di sana ada  Rumaisha' isteri Abu Thalhah." (HR. Al Bukhari).

Dialah wanita yang sangat mencintai Rasulullah Saw. Pernah ketika Rasulullah Saw berkunjung ke rumahnya dan kemudian tertidur di sana, keringat yang membasahi tikar sebagai alas tidur beliau Saw diperas oleh Ummu Sulaim. Kemudian ditampungnya di dalam botol, dan dicampurkannya dengan wewangian miliknya. Melihat ulahnya, Rasulullah Saw pun bertanya, "Apa yang sedang engkau lakukan?" Ummu Sulaim lantas menjawab, "Aku sedang mengambil berkah dari tubuhmu."  MasyaAllah...

Ummu Sulaim juga seorang wanita pemberani. Di saat perang Hunain, dia ikut berperang dan membawa sebilah pisau ditangannya. Ketika Rasulullah Saw menanyakan perihal pisaunya, dia pun menjawab, "Wahai Rasulullah, pisau ini sengaja kusiapkan untuk merobek perut orang musyrik yang berani mendekatiku."  Subhanallah...

Sampai-sampai, kecintaannya pada Rasulullah Saw ditunjukkan dengan memberikan buah hatinya kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik ra dalam satu riwayat ; Ketika Rasulullah Saw tiba di Madinah, aku baru berumur delapan tahun. Waktu itu ibu menuntunku menghadap Rasulullah Saw, seraya berkata, "Wahai Rasulullah, tak tersisa seorang Anshor pun kecuali datang kepadamu membawa hadiah istimewa. Namun aku tak mampu memberimu hadiah kecuali puteraku ini, maka ambillah dia dan suruhlah dia membantumu kapan saja engkau inginkan." (Dikutip dari buku "Ibunda Para Ulama" karya Sufyan bin Fuad Baswedan, 2012)

Ummu Sulaim wafat di masa Khalifah Utsman bin Affan ra. Dia meriwayatkan empat belas hadits Rasulullah Saw. Dan ternyata kecerdasan, kesabaran dan keberanian Ummu Sulaim diwarisi oleh anaknya, Anas bin Malik ra.

Ini hanya satu dari sekian banyak sosok perempuan muslimah lainnya. Mereka mengenal syariat Islam, kemudian mengamalkannya. Menjalankan perannya sebagai isteri dan ibu tanpa keluhan dan penolakan. Bahkan kisah hidupnya layak diteladani. Mereka megabdikan hidupnya untuk Islam. Serta melahirkan generasi penerus yang membangun peradaban Islam dan kejayaannya.

Barangkali, seandainya Kartini sempurna memahami dan mengkaji Alquran dia pun kan tampil menjadi sosok pembela Islam. Dan akan menerapkan Islam. Buktinya, meski dia belum sempurna mengkaji Alquran dia telah menuliskannya dalam suratnya tertanggal 21 Juli 1902 yang ditujukan pada Ny. Van Kol, "Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai"

Dan suratnya yang ditujukan kepada Ny. Abendanon tertanggal 12 Oktober 1902, semakin memperkuatnya. Kartini menulis, "Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan selain Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah."

Wallahu'alam bish shawwab

Laila Thamrin
Banjarmasin, 23042018

#kartinitanpakonde
#shahabiyahinspirasiku
#milad6revowriter
#gerakanmedsosuntukdakwah


*Tulisan ini telah dimuat di

https://muslimahtimes.com/antara-kartini-feminisme-dan-ummu-sulaim/