Jumat, 20 Juli 2018

Mutiara dari Bumi Lambung Mangkurat

“Rambutnya yang cukup panjang dan disanggul rapi telah putus diterjang peluru. Sedang lengannya yang kiri ditembus pula oleh peluru yang lain sehingga badannya bergelimang darah. Baju dan celana compang camping, darahnya mengalir membasahi tubuh, namun air matanya tak pernah jatuh setetes pun menyesali perjuangannya itu. Wasiat almarhum ayah dan suaminya sebelum masuk perangkap Belanda tetap dipegang teguh.” (Anggraeni Antemas dalam artikelnya di Harian Utama edisi 26 September 1970 yang berjudul ‘Mengenang Kembali Perdjuangan Pahlawan Puteri Kalimantan Gusti Zaleha)

*****

Pada tahun 1880, tepatnya di Muara Lawung, daerah lembah sungai Barito, lahirlah seorang bayi mungil dari Nyai Salmah, isteri Sultan Muhammad Seman.  Bayi perempuan ini diberi nama Gusti Zaleha.  Perang Banjar yang bermula sejak tahun 1859, dan dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari, telah mewarnai awal hidupnya. Karenanya, masa kecilnya telah lekat dengan nuansa perjuangan melawan kolonialisme Belanda.

Terlahir sebagai cucu Pangeran Antasari, seorang pejuang perang melawan Belanda di Kalimantan Selatan. Putri dari Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari ini bergelar Ratu Zaleha. Gelar ini diberikan tersebab seutas cincin yang diberikan ayahnya sebelum ayahnya wafat. Cincin yang hanya boleh dipakai oleh seorang Raja. Dan kala itu ayahnya, adalah seorang Raja Kerajaan Banjar yang terusir oleh Belanda. Dan sejak ayahnya mangkat, gelar Ratupun disematkan pada Zaleha. Sehingga namanya menjadi Ratu Zaleha.

Ratu Zaleha mewarisi darah bangsawan dari kakeknya, sekaligus darah seorang pejuang yang gigih mengusir serdadu Belanda keluar dari Bumi Lambung Mangkurat. Meski ditakdirkan sebagai perempuan, namun tak menghalanginya untuk mengangkat senjata dan bergerilya melanjutkan perjuangan ayah dan kakeknya.

Hingga beranjak remaja, Ratu Zaleha telah ikut berjuang bersama ayahnya. Keluar masuk hutan di Kalimantan guna menyusun strategi penyerangan terhadap penjajah Belanda. Dia juga meraih dukungan perjuangan dari suku-suku Dayak pedalaman, suku asli di Kalimantan.

Ada suku Dayak Dusun, Kenyah, Ngaju, Kayan, Siang, Bakumpai, Suku Banjar. Dan salah seorang tokoh perempuan Dayak Kenyah, bernama Bulan Jihad yang menjadi muallaf, ikut berjuang bersamanya.

Berdua dengan Bulan Jihad, Ratu Zaleha juga memberikan pengajaran kepada masyarakat Banjar.  Dia yang cerdas mampu mengajari anak-anak baca tulis huruf Arab Melayu dan ajaran agama Islam. Mereka berdua juga memberikan pendidikan tentang Islam dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya kepada perempuan-perempuan Banjar yang terjajah oleh Belanda.

Kehidupan perjuangan dilaluinya dengan penuh semangat. Keluar masuk hutan, mendaki dan menuruni pegunungan sudah biasa dilakukannya. Apalagi dia menikah dengan seorang pejuang pula. Gusti Muhammad Arsyad, lelaki beruntung yang mempersuntingnya. Dari keturunan yang segaris dengannya.

Pasangan Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad memiliki satu kakek yang sama, yaitu Pangeran Antasari. Ayah kedua sejoli ini bersaudara. Mereka anaknya Pangeran Antasari dari ibu yang berbeda,  yaitu Gusti Muhammad Seman dan Gusti Muhammad Said. Semua dari keluarga kerajaan Banjar. Dan kehidupan perjuanganpun semakin menggelora dalam keluarganya, meski seharusnya mereka semua berada dalam istana. Namun, hidup di benteng-benteng pertahanan yang selalu berpindah-pindah justru lebih mereka pilih. Daripada menyerahkan urusan hidupnya di tangan kolonial Belanda.

Semangat perjuangan dari sang kakek tetap dipegang teguh keluarga Ratu Zaleha ini. Slogan perjuangan  "Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing" yang digaungkan kakeknya pertama kali, telah tertanam kuat dalam dirinya. Apalagi kolaborasi kekuatan jiwa ayah dan suaminya dalam perjuangan ini membuat Ratu Zaleha tak pernah berpatah arang dalam berjuang. Hingga dia mendapat julukan macan wanita yang terus melawan Belanda.

Kegigihannya dalam perjuangan ini membuat Belanda terus memburunya. Dia telah jadi target utama Belanda, karena Belanda menganggap kelompok keluarga _Pegustian_ (sebutan untuk kaum bangsawan Banjar) berbahaya bagi posisinya. Berbagai macam cara dan taktik diupayakan Belanda. Namun Ratu  Zaleha dan kelompoknya belum tertangkap jua.

Hingga pada tahun 1905 terjadi pertempuran sengit antara pasukan Ratu Zaleha dan ayahnya dengan Belanda. Dua kelompok ini berhadapan dan saling baku tembak. Pasukan Ratu Zaleha bertahan di benteng Manawing, Kalang Barah-Sungai Manawing di lembah Sungai Barito. Pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Hans Christoffel, seorang pemimpin yang berpengalaman di medan tempur Perang Aceh.
Kondisi alam di Sumatera yang mirip dengan Kalimantan, membuat  pasukan tentara marsose Belanda mampu menandingi kelihaian perang gerilya pasukan Ratu Zaleha.

Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Meski segala daya upaya telah dikerahkan oleh seluruh pasukan Ratu Zaleha, namun takdir telah dituliskan. Ayahandanya tercinta Sultan Muhammad Seman gugur. Kesedihan mendalampun dirasakan Ratu Zaleha. Belum kering airmatanya tersebab sebelumnya suami terkasih dipaksa menyerahkan diri pada Belanda. Karena terdesak tak mampu melawan lagi, akhirnya sang suamipun rela diasingkan ke Buitenzorg (sekarang kota Bogor) pada 1 Agustus 1904.

Gugurnya Sultan Muhammad Seman menandai Perang Banjar berakhir, dimana benteng Manawing berhasil dikuasai Belanda. Hal ini memaksa Ratu Zaleha dan pasukannya, juga Nyai Salmah, ibunya untuk menyelamatkan diri. Meski airmata tak mampu disembunyikan, tetapi kekuatan jiwanya menuntutnya untuk tidak menyerah kepada lawan begitu saja. Tak pernah sekalipun airmatanya menetes karena penyesalan memilih jalan perjuangan ini.

Mereka memasuki daerah Lahey, kemudian lanjut ke Mea.  Ini merupakan sebuah perkampungan di tepian Sungai Barito,  tepatnya di daerah Teweh Hulu. Daerah ini dipandang cukup aman karena terisolir. Merupakan daerah pedalaman Kalimantan yang sulit ditembus bagi para pendatang dari luar yang tak kenal medannya.

Perjuangan belumlah usai. Belanda terus mengejar Ratu Zaleha. Posisinyapun tercium oleh Belanda. Ratu Zaleha tak kenal takut. Dengan bersenjatakan kelewang, senjata khas Kalimantan, diapun menebas leher para serdadu Belanda. Keberaniannya patut ditiru. Bahkan saat Belanda membakar hutan disekeliling persembunyiannya, dia tetap berusaha melakukan perlawanan.

Dia lari dan bersembunyi di salah satu rumah penduduk. Pemilik rumahpun membukakan pintu dan memberikan pelayanan padanya. Dipersilakan mandi dan disediakan baju ganti oleh si pemilik rumah. Tetapi, kebaikannya ternyata semu. Seusai Ratu Zaleha mandi dan telah wangi, ternyata pasukan Belanda telah menantinya. Diapun tak mampu berkutik lagi. Berpasrah diri pada Illahi saat dibawa pergi oleh sang penjajah. Ternyata, si pemilik rumah telah berkhianat pada perjuangan rakyatnya sendiri.

Ratu Zalehapun diasingkan ke Buitenzorg, menyusul suami tercinta. Begitupun ibunya, Nyai Salmah. Merekapun melewati hari-hari tuanya di pengasingan selama 30 tahun lebih. Di tahun 1937,  Belanda memulangkannya ke Banjarmasin.

Kondisi fisik yang mulai menua menyebabkan dia mulai sakit-sakitan. Begitupun sang suami. Dan manusia tak mampu menghalangi kala ajal datang menjemput. Gusti Muhammad Arsyad kembali keharibaanNya pada tahun 1941. Sementara Ratu Zaleha menyusul kemudian di tahun 1953, tepat pada tanggal 24 September. Dia dimakamkan di Komplek Makam Pahlawan Perang Banjar di Jalan Masjid Jami Banjarmasin. Berdekatan dengan kakeknya, Pangeran Antasari.

Ratu Zaleha adalah simbol kekuatan seorang perempuan. Kekuatan perjuangan dalam melawan penjajahan. Pengorbanan dan keteguhan hatinya layak ditiru oleh para pejuang saat ini. Khususnya para pejuang penegakkan syariat Islam. Dimana keberanian, kekokohan jiwa dan keyakinan akan kemenangan tergambar jelas dalam episode kehidupan Ratu Zaleha ini. Dialah satu mutiara dari Bumi Lambung Mangkurat. []

Laila Thamrin
Praktisi Pendidikan
(20072018)

Sumber :
1. http://pahlawanbanua.blogspot.com/2017/10/ratu-zaleha-aluh-idut-ketangguhan-2.html?m=1

2. http://googleweblight.com/i?u=http://kabarbanjarmasin.com/posting/ratu-zaleha-pahlawan-wanita-dari-kalimantan.html&hl=id-ID

3. https://googleweblight.com/i?u=https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ratu_Zaleha&hl=id-ID

4. http://suluhbanjar.blogspot.com/2011/09/ratu-jaleha-srikandi-gagah-berani-dalam.html?m=0

#PR3
#FeatureBiografi
#PahlawanBanjar
#PejuangPerempuan
#PerempuanHebat

Kamis, 12 Juli 2018

Buka Mata Buka Hati #12

Kebahagiaan Dibalik Mudik Yang Tertunda

Bukan harta yang bikin orangtua bahagia. Tapi pertemuan dengan buah hati tercintalah jawabannya. Meski anak yang dirantau datang tanpa memberikan apapun, asalkan datang dengan sepenuh cinta pasti akan diterima dengan tangan terbuka. Terlebih jika sudah lama tak berjumpa, karena terhalang jarak dan kesibukan kerja.

*****
Mudik saat lebaran memang telah jadi tradisi di Indonesia. Termasuk di keluarga kecilku. Kebiasaan unik ini baru kurasakan sensasinya 17 tahun belakangan ini saja. Dulu, waktu lihat teman-teman kuliah pada sibuk membicarakan jadwal kepulangan mudiknya, aku cuma senyum dan sesekali nimbrung. Pernah terbersit dalam hatiku, "kapan ya aku bisa mudik kaya mereka?" Hehe..karena kuliahku hanya berjarak 40 kilometer dari rumahku.

Tapi, tak disangka-sangka, ternyata Allah dengar dan berikan aku kesempatan loh. Bahkan bisa mudik ke daerah paling ujung dari provinsiku. Ya, sejak aku menikah dengan seorang putra daerah Tabalong, salah satu kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan. Sejak itulah aku baru mengerti "penting"nya mudik. Dan akupun melakoninya dengan berbagai pernak-perniknya.

Seperti Lebaran tahun ini, meski rencana mudik sudah disusun, namun mudikku gagal. Pasalnya, anak-anak dan aku gantian sakit. Jadilah aku perawat merangkap jadi pasien juga.  Alhasil, terpaksa hanya suami yang  mudik. Karena setahun sudah tak pulang ke rumah orang tuanya.

Sedih juga aku gak bisa ikut mudik. Mertua dan adik-adik iparkupun menunggu kedatangan kami sekeluarga penuh harap. Ada terselip rasa kecewa ketika aku dan anak-anak tak ikut pulang.

"Sakit ya, kak?" tanya adik iparku lewat sambungan telpon pas suami sudah sampai di sana.
"Iya, dik. Anak-anak terserang cacar air. Mulai si tengah, si bungsu, sampai si sulung. Bahkan aku juga ikut terjangkit." jawabku sedih.
"Subhanallah. Semoga cepat pulih lagi ya, kak." sambungnya.

Begitupun kala suami cerita kalau Mama dan Abah menyambut kedatangannya sembari berkata, "Kenapa anak-anakmu gak ikut, Rizal?" kepada suamiku. Nampak sekali kerinduan beliau terhadap cucu-cucunya. Maklumlah, kami tinggal lumayan jauh dari rumah mereka.
Kabupaten Tabalong itu berjarak kurang lebih 232 kilometer dari kota Banjarmasin, kota kelahiranku sekaligus daerah tinggal kami sekarang. Jarak tempuh yang memakan waktu 7-8 jam lewat darat ini cukup melelahkan. Dan bagi anak bungsuku bahkan memabukkan. Mabuk darat. Sampai dia sering muntah-muntah jika mudik. Lemes jadinya.

Apalagi ongkosnya, terasa lumayan besar ketika Lebaran datang. Karena biasanya akan naik sekitar 20-30% dari harga normal. Dari yang seharga 75 ribu perorang normalnya, bisa sampai 100 ribu perorang saat musim mudik. Bayangkan saja, kalau kami pulang berlima. Balik juga berlima. Tambah menu camilan dan makan berat di jalan. Wah, tentu bagi kami, semua perlu perhitungan. Entahlah bagi mereka yang berduit banyak.

Ini bukan perkara aku dan suami hitung-hitungan ya untuk urusan berbakti pada orangtua. Bukan itu. Tapi semata-mata perkara uangnya yang kadang tak cukup. Tersebab itulah, minimal setahun sekali mudik rasanya sangat pas bagi ukuran kantong suamiku. Kan aku tanggungan suamiku. Hehehe.... Dan orangtua pun memahaminya. Sehingga tiap lebaran pasti aku dan keluarga dinanti-nanti oleh Mama dan Abah di kampung halaman.

****
Hampir sebulan syawal kujalani. Musim mudikpun sudah lama berlalu. Tapi anak-anak masih libur sekolahnya. Aku pun sudah kembali sehat. Tiba-tiba suami berkata, "Kita mudik yuk, Mi! Mumpung anak-anak masih libur sekolah. Sekalian jenguk Mama, beliau lagi kurang sehat."
Aku terperangah. Yang terbersit dibenakku hanya satu, ongkosnya! Akupun langsung berucap, "Ongkosnya gimana, Bi? Anak-anak sebentar lagi sekolah. Keperluan sekolahnya juga belum terbeli."
"Alhamdulillah, Abi dapat rezeki lebih. InsyaAllah cukup buat kita sewa mobil aja dan berangkat semua."
"What? Sewa mobil? Bukannya tambah mahal?" ucapku
"Gak papa. Sekali-sekali. Mumpung uangnya ada dan cukup." kata suamiku dengan mata berbinar.

Aku kayak dapat durian runtuh deh. Hehe...karena biasanya kalau mudik yang pertama dihitung pasti ongkosnya. Dan ini tiba-tiba suami malah nawarin sewa mobil yang tentu saja agak lebih mahal.

Sempat sih terucap pada suami mending uangnya disimpan aja buat keperluan renovasi rumah yang belum kelar. Tapi suami bilang, kalau uang seberapapun diniatkan untuk membahagiakan orangtua, insyaAllah nanti Allah ganti dengan yang lebih baik.
Glek! Akupun tersadar. Benar juga kata suamiku. Akupun manut saja. Berharap Allah akan berikan yang terbaik untuk semuanya.

Akhirnya, persiapanpun dilakukan. Pilih tanggal yang pas. Berapa hari mau mudiknya. Cari tempat penyewaan mobil. Tanya-tanya teman harga kisarannya. Pokoknya sibuk deh.

Apalagi ingat kalau ibu mertuaku sempat sakit kakinya pas lebaran kemarin. Dan kata Abah, sehari setelah suamiku balik ke Banjarmasin,  Mama sempat dibawa ke IGD. Ngilu di kaki kiri Mama sampai bikin beliau hampir tak kuat menahannya. Bahkan tak mampu dipakai untuk berjalan. Selera makan beliaupun hilang. Jadinya asupan energi tak ada masuk. Tentu saja tubuh beliau ikut lemes.

Beruntung, beliau dibolehkan rawat jalan. Namun, harus dapat asupan nutrisi pengganti dari selang infus. Dan tambah beruntung lagi, salah satu mantu Mama seorang perawat di rumah sakit Tabalong. Adik ipar suamiku. Allah Maha Pembuat Skenario.

*****
Singkat cerita, aku sekeluarga memilih mudik di hari Minggu pagi. Anak-anakpun ternyata lebih enjoy menikmati perjalanan mudiknya. Meski tetap diwarnai mabuknya si bungsu dan beberapa kali muntah selama diperjalanan.

Delapan jam lamanya kami tempuh tuk menyusuri jalan menuju Kabupaten Tabalong.  Hingga jam 5 sore kami pun sampai. Dan meluncurlah mobil abu-abu metalik yang kami kendarai tepat di halaman rumah Mama dan Abah. Klaksonpun dibunyikan suamiku. Tiin...tiin!

"Assalamu'alaikum!" Suamiku mengucap salam seraya melongok ke pintu samping. Kebetulan Mama sedang duduk di ruang tengah rumah itu. Ruangan ini berhubungan langsung dengan pintu samping yang menuju ke teras depan rumah. Jadi, sejurus beliau tengok keluar pintu, mobil kami yang parkir di halamanpun jelas terlihat.

Beliau terperanjat. Tak mengira putra sulungnya ada di hadapannya. Plus menantu dan cucu-cucunya. Beliau membalas salam sambil berdiri dan menyongsong suamiku.

Semringah sekali raut muka beliau. Takjub dan bahagia jelas sekali terpancar di mata beliau. Kusalami Mama dengan penuh takzim. Beliau cium kedua pipiku. Pun anak-anakku.

Beliau bilang, "Aku benar-benar tak menyangka kalau kalian semua yang datang. Kukira tadi itu mobil Annisa. Tapi pas masuk ke rumah ternyata Rizal yang datang." ungkap beliau penuh bahagia. Annisa adalah adik perempuan suamiku.

"Ayo, bawa masuk semua barangnya. Sini,  kita bikin minuman hangat." ajak beliau.
"Nggih, Ma." jawabku.
"Rizal, cepat telpon Abah. Tadi barusan Abah ke rumah Annisa. Suruh segera pulang. Sekalian Annisa suruh juga kesini." kata Mama bersemangat.

Suamikupun segera meraih gawainya, dan ngobrol dengan Abah. Rumah Annisa hanya berjarak kurang lebih 50 meter dari rumah Mama. Jadi sekitar lima menit saja Abah sudah nongol. Langsung memanggil nama anak-anakku. Masya Allah...ternyata benar, kakek dan nenek itu kecintaannya pada cucu-cucunya jauh lebih nampak ekspresinya daripada ke anak-anaknya. Meskipun aku yakin, cinta kepada anaknya tentu juga takkan berkurang sedikitpun.

Bahagiapun kurasakan hari itu. Meski tubuh ini letih melalui perjalanan yang cukup panjang. Apalagi kadang sport jantung gara-gara jalan yang penuh tantangan. Namun semua tiba-tiba sirna ketika melihat kebahagiaan Mama dan Abah dengan kedatanganku sekeluarga. Dan uniknya, beliau tak pernah bertanya oleh-oleh apa yang dibawakan anaknya. Tak pernah sekalipun. Justru semua yang beliau punya dikeluarkan untuk anak, menantu dan cucu-cucunya.

Inilah letak kebahagiaan hakiki yang hanya bisa didapatkan tatkala bertemu orangtua. Jika tak mudik ke kampung halaman, takkan pernah merasakan kebahagiaan ini. Terlebih bagi para perantau yang sudah merantau jauh dari kampungnya.

Makanya, para perantau pasti bela-belain buat mudik tiap tahun. Karena rasa ini takkan bisa diungkapkan sempurna dengan kata-kata dan tulisan. Hanya perbuatan yang bisa melukiskan betapa indahnya rasa ini. Rasa bahagia tak bertepi kala bertemu dengan keluarga di kampung, khususnya orangtua tercinta.

Disinilah aku belajar arti sebuah kebahagiaan ketika berkumpul bersama orangtua. Salah satu bukti cinta dan bakti anak kepada ayah ibunya. Wujud birrul walidain yang diperintahkan agama. Rugi besar jika kita abaikan mereka dimasa tuanya. Apalagi jika keduanya masih hidup. Karena dari merekalah keberkahan hidup di dunia kan kita peroleh. Bahkan pintu surgapun kan terbuka untuk kita karenanya.

Sebagaimana firman Allah Swt dalam Alquran yang artinya :

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.” (QS. al-Isra’ : 23)

"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".(QS. Al-Isra' : 24)

 Alhamdulillah, meski mudikku sekeluarga tertunda, namun kebahagiaan tetap menyeruak saat berjumpa dengan Abah dan Mama. Karena berjumpa dengan orangtua  tak harus menanti Lebaran tiba. Kapan saja jika ada kesempatan dan waktunya, datangilah mereka. Karena bagi orangtua anak adalah permata hati yang takkan berubah posisinya sejak lahir hingga kapanpun jua.[]

Laila Thamrin
(Handil Bakti, 12072018)

Kamis, 05 Juli 2018

BUKA MATA BUKA HATI #11

Mengejar Ilmu Tanpa Zonasi

Dua pekan ini dunia pendidikan sedang musim penerimaan siswa baru. Pekan kemarin Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA. Dan pekan ini PPDB SMP. Riuh banget deh.

Ternyata di Indonesia tak hanya ada musim panas dan musim penghujan loh. Ada musim durian, musim rambutan, musim mangga, musim banjir, musim pilkada, musim tawuran, musim mudik, musim liburan. Dan ini lagi musim cari sekolah baru. Hehehe...banyakkan musimnya. 😅

PPDB online yang diselenggarakan hampir di seluruh Indonesia, khususnya kota-kota besar mulai berlaku. Termasuk di kota kami, Banjarmasin. Meski tahun kemaren sudah diberlakukan juga. Namun tahun ini diklaim lebih baik sistemnya dari tahun yang lalu.

Pelaksanaan sistem ini mengacu pada peraturan terbaru tentang PPDB yakni Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018. Salah satunya pengaturan penerimaan siswa berdasarkan zonasi, usia dan nilai.

Tiga item ini yang menseleksi siswa secara berurutan. Jadi zona tempat tinggal siswa yang mendaftar diukur dari kedekatan dengan sekolahnya akan mempengaruhi siswa itu bisa diterima atau tidak. Kemudian seleksi berikutnya adalah usianya. Dan yang terakhir nilai.

Tujuan pemerintah patut diapresiasi. Karena diharapkan ada pemerataan siswa yang memasuki sekolah negeri yang tersedia di suatu wilayah. Namun yang cukup banyak dikeluhkan pendaftar adalah masalah administrasi yang cukup rumit. Karena pendaftaran harus dilalui dua langkah. Online dan offline juga.

Jadi bisa dibayangkan, antrian mengular tiba-tiba terjadi di satu sekolah. Karena setelah daftar online, calon siswa harus verifikasi datanya lagi secara offline ke sekolah yang dituju. Bahkan ada kejadian, yang pingsan justru ibunya calon siswa. Gara-gara kelamaan antri di sekolah tersebut. Zonasi memang bikin sensi ya. 😁

Pendidikan memang tak pernah lepas dari masyarakat. Pendidikan adalah bagian hidup umat dan kebutuhan mendasar pula. Rasulullah Saw sendiri pernah bersabda, "Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim" (HR. Ibnu Majah)

Siapapun yang belajar dan terus belajar, maka pahalapun mengalir kepadanya. Apalagi ilmu yang diserapnya merupakan ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat.
Terlebih  jika ilmu yang didapatnya disebarkannya kembali kepada orang lain, maka keberkahan dan pahalapun akan berlipat-lipat mengalir kepadanya.

Seperti yang disabdakan Rasulullah Saw, "Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan maka baginya pahala seperti pahala pelakunya”. (HR.Muslim)

Dalam Islam, pendidikan bertujuan membentuk sosok manusia yang berkepribadian Islam. Yang menjadikan aqliyah(pemikiran) dan nafsiyah (sikap/perilaku) pada seseorang bersandarkan pada Islam semata. Agar setiap aktivitasnya tak keluar dari jalur syariat Allah. Dan tak melenceng dari sunnah Rasulullah.

Namun tak pernah ada pembatasan waktu bagi siapapun untuk belajar. Kecil, besar. Muda, tua. Kaya, miskin. Laki-laki, perempuan. Semua punya hak yang sama untuk belajar. Kapan saja, dan dimana saja.

Begitu pula tempat tinggal, tak akan menghalangi seseorang untuk melangkahkan kakinya ke daerah lain untuk menuntut ilmu. Sebagaimana Rasulullah Saw pernah bersabda, "Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat." (Al Hadits)

Sekolah selayaknya disiapkan oleh negara dengan berbagai fasilitas pendukungnya. Agar setiap sekolah sama kualitasnya. Baik sarana dan prasarananya, maupun para pengajarnya. Hingga tak ada pengkotakan sekolah jadi sekolah favorit dan tak favorit. Atau sekolah unggulan dan sekolah pinggiran. Yang bisa membuat "gap" di masyarakat bagi para lulusannya.

Tapi, jangan salah ya. Sekolah itu bukan semata untuk memudahkan cari kerja. Sekolah itu punya tujuan mulia, yaitu mencerdaskan seseorang. Dan setiap upaya para siswanya belajar sungguh-sungguh akan diberi imbalan pahala oleh Allah.

Nah, jika ada yang sekolah atau kuliah tapi malas-malasan belajarnya, suka bolos saat jam pelajaran, suka nyontek saat ulangan atau ujian, kira-kira bisa pinter gak? Trus pahala dari Allah bisa didapatkan gak ya? Coba deh, ortu aja nih kalo anaknya gak berkelakuan baik biasanya enggan kasih reward kan? Bagaimana dengan orang yang ogah-ogahan belajar, kira-kira layakkah dapat reward dari Allah?

Karenanya pantaskan diri kita untuk terus jadi seorang pembelajar yang baik di mata Allah.  Yang bersungguh-sungguh kala menuntut ilmu. Yang selalu menghadirkan ruh saat belajar. Dimana kita beraktifitas dengan keyakinan penuh bahwa Allah mengawasi kita. Hingga tak mudah kita meninggalkan kewajiban dan melakukan kemaksiatan.

Jika sudah begini, yakinlah belajar kita kan dapat pahala dari Allah. InsyaAllah. Meski dalam belajar itu kita masih banyak bengongnya karena belum faham. Makanya kudu rajin mengulang dan membersamai buku pelajaran. Semua upaya pasti ada nilainya di sisi Allah.

Jadi, selalu niatkan kita belajar untuk dapat pahala dari Allah. Bukan sekedar dapat nilai tertinggi dari sang guru. Nilai itu bonus saja, saat belajar kita sudah lillahi ta'ala. Setiap langkah kita berjalan menuju sekolah atau majelis ilmu lainnya akan dicatat sebagai amal shalih oleh Allah Swt.

Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari suatu ilmu. Niscaya Allah memudahkannya ke jalan menuju surga”. (HR. Turmudzi)

Tersebab itu semua, mengejar ilmu tak terhalang oleh usia, jenis kelamin, materi. Apalagi hanya sekedar zona tinggal.

Ingatlah selalu firman Allah Swt :
"…  Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah : 11)

"... Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (QS. Az-Zumar : 9)

Laila Thamrin
05072018

#revowriter
#WCWHbatch2
#IslamSelamatkanNegeri
#IslamKaffah
#IslamRahmatanLilAlamin

Senin, 02 Juli 2018

Buka Mata Buka Hati #10

MENAPAKI POROS SURGA

Kemarin saya ikut Halal bi Halal dengan teman-teman pengajian. Alhamdulillah banyak tercerahkan dengan tausiyah ustaznya. Pulangnya ternyata terjebak macet di beberapa ruas jalan. Untung saya dan suami naik motor. Meski motor butut, tapi kendaraan ini yang selalu mengantarkan saya wara-wiri membelah belantara kota.

Dan jangan salah, dengan si bebek ini kemacetan bisa ditembus lebih cepat dibanding mobil-mobil mengkilat beroda empat. Mereka masih setia antri dan menguji kesabaran para penumpangnya. Wa bil khusus si sopir. Hehe..😁

Eh iya, bicara macet nih...biasanya barisan motor bebek dan sejenisnya, akan selalu cari celah supaya bisa terus maju. Andai punya sayap mungkin langsung terbang deh sekalian. Hihihi...

Dan para "bebekers" ini biasanya paling jago cari "jalan tikus" alias jalan-jalan tembus yang bisa mempercepat sampai ke tujuan. Bisa jalan-jalan yang melewati kompleks perumahan tertentu. Bisa pula memang jalan alternatif yang dibangun pemerintah, namun bukan jalan propinsi. Bingung kan? Hahaha...pokoke intinya jalan yang bisa mempercepat sampai ke tujuan. Gitu ajah...😁.

Dan kamipun berpikiran yang sama dengan "bebekers" yang lain. Pilih jalan alternatif. Harapan hati, jalan yang dipilih bisa lebih lengang dan tak berjubel. Tapi, apa hendak dikata, ternyata hampir semua orang punya pikiran yang serupa. Termasuk sopir si roda empatpun pilih jalan yang sama.

Oh my God, bisa dibayangkan bukan? 😱 Ternyata, jalan menelikung tetap resikonya kemacetan, kepanasan, kegerahan. Ditambah emosi pengendara yang naik turun. Pasalnya,  semua pada cari celah untuk saling mendahului, agar segera terbebas dari macet. Antara tangan memutar gas dan kaki menginjak rem jadi saling berlomba-lomba. Hedeuh..maunya enak, tak tahunya tambah payah. Capek deh!

Andai tadi kami memilih jalur utama, bisa jadi takkan semacet ini. Karena dulu pernah kami alami, orang-orang memilih jalur alternatif dengan pemikiran yang serupa, anti macet. Tapi kami tetap berada di jalur utama. Anti mainstream lah dengan pilihan orang kebanyakan. Meski jalannya agak lebih jauh. Ternyata justru gak macet dan gak bising. Malah lebih enjoy dan tenang. Hingga sampai dengan selamat tanpa banyak menginjak pedal rem.

*****

Kalau memilih jalan di jalan raya saja kita harus berada pada jalur utama, apatah lagi memilih jalan hidup ya. Gak main-main loh ini. Jalan hidup menentukan jalan kita setelah mati.

Sebagai muslim, tak cukup yang dibawa amal salih seadanya. Tapi amal salih yang sekiranya bisa terus bertambah setiap saat.
Allah SWT memerintahkan kepada muslim untuk hanya mengikuti jalan Islam. Serta tidak mengikuti jalan-jalan lain selain Islam.

Sebagaimana ditegaskan Allah dalam firmanNya :
"Sungguh inilah jalan-Ku yang lurus. Karena itu ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain karena bisa menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Demikianlah kalian diperintahkan agar kalian bertakwa." (QS. al-An'am [6] : 153)

Menurut Imam as Samarqandi dalam kitab tafsirnya, Bahr al-'Ulum (1/495), ayat ini bermakna bahwa Islam sebagai agama yang lurus. Karena itu ikutilah jalan Islam. Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain, yakni jalan kaum Yahudi dan Nasrani. Hanya dengan menetapi jalan Islam dan menjauhi jalan-jalan lain selain Islam, kita akan menjadi orang yang bertakwa. (Dikutip dari Buletin Dakwah Kaffah edisi 044/23Ramadan1439H)

Lihat saja sekarang, betapa banyak kaum muslimin yang menelikung dari jalan Islam. Bermesraan dengan Yahudi dan Nasrani. Berjabat tangan dan berangkulan dengan Kapitalisme Sekuler. Mengusung demokrasi. Lalu menginjak-nginjak harga dirinya sendiri sebagai umat Islam. Mengkhianati kaum muslimin lain yang masih taat pada Rabbnya.

Bahkan mereka yang menelikung ini  pula yang mengadudomba sesama muslim. Mengkotak-kotakkan umat ke dalam Islam Liberal, Islam Radikal, Islam Moderat, Islam Nusantara dan lebeling Islam lainnya. Hingga memunculkan stigma negatif kepada para pejuang syariah dan khilafah.

Apakah "jalan tikus" seperti ini yang akan membahagiakan mereka di akhirat kelak? Padahal jalan ke surga ditentukan oleh jalan yang dipilihnya di dunia. Dan kehidupan dunia ini hanyalah kehidupan semu yang nikmatnya hanya sesaat. Yang bisa melenakan manusia, hingga jalan ke surga menjadi terhalang oleh silaunya harta dunia.

Ya, disisi ibadah mereka masih mengambil Islam. Salat, puasa, bayar zakat, berhaji, menikah atau bercerai, mengurusi jenazah, semua masih dengan aturan syariat Islam. Namun, muamalah mereka merujuk pada hukum-hukum dari jalan hidup yang lain.

Ekonomi berbasis kapitalisme jadi pegangan. Pendidikan sekuler digalakkan. Politik dengan demokrasi disanjung dan diagungkan. Interaksi  sosialnya yang mengusung kebebasan (liberalisme). Apakah yang seperti ini kan menggiring umat pada ketakwaan yang hakiki?

Padahal sejatinya menurut Umar bin Abdul Azis ra yang diabadikan dalam Kitab at-Taqwa oleh Ibn Abi Dunya,  "Takwa kepada Allah itu bukan dengan sering shaum di siang hari, sering salat malam, atau sering melakukan keduanya. Akan tetapi takwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang diharamkan dan melaksanakan apa saja yang diwajibkan."

Allah SWT berfirman, "Berkatalah Rasul,"Tuhanku, sungguh kaumku telah menjadikan Alquran ini suatu yang diabaikan." (QS. Al Furqon [25] : 30)

Maka berpalingnya umat Islam dari Alquran inilah yang membuat ketakwaan hakiki sulit diraih. Kecuali jika semua muslim segera kembali ke jalan Islam. Jalan yang akan menghantarkan setiap muslim ke surgaNya.

Dan jalan ini tak cukup jika hanya individu per individu saja yang menapakinya. Harus semua masyarakat menjalaninya. Termasuk negara sebagai institusi utama yang mengarahkan semua rakyatnya. Negaralah yang punya kekuatan besar untuk mengarahkan rakyatnya menapaki jalan ini.

Karenanya, tetaplah dalam jalan Islam ini. Jalan utama yang meski banyak yang melewati dia pasti  akan sampai ke tujuan hakiki. Meski akan banyak onak dan duri, namun jalan ini tetaplah jalan yang terbaik. Yang menjadikannya sebagai poros utama ke surgaNya.

Laila Thamrin
02Juli2018/18Syawal1436H

#SyawalBersamaRevowriter
#GerakanMedsosUntukDakwah
#DakwahMengguncangDunia
#IslamKaffah
#IslamRahmatanLilAlamin
#IslamPorosSurga
#IslamSelamatkanNegeri