Jumat, 20 Juli 2018

Mutiara dari Bumi Lambung Mangkurat

“Rambutnya yang cukup panjang dan disanggul rapi telah putus diterjang peluru. Sedang lengannya yang kiri ditembus pula oleh peluru yang lain sehingga badannya bergelimang darah. Baju dan celana compang camping, darahnya mengalir membasahi tubuh, namun air matanya tak pernah jatuh setetes pun menyesali perjuangannya itu. Wasiat almarhum ayah dan suaminya sebelum masuk perangkap Belanda tetap dipegang teguh.” (Anggraeni Antemas dalam artikelnya di Harian Utama edisi 26 September 1970 yang berjudul ‘Mengenang Kembali Perdjuangan Pahlawan Puteri Kalimantan Gusti Zaleha)

*****

Pada tahun 1880, tepatnya di Muara Lawung, daerah lembah sungai Barito, lahirlah seorang bayi mungil dari Nyai Salmah, isteri Sultan Muhammad Seman.  Bayi perempuan ini diberi nama Gusti Zaleha.  Perang Banjar yang bermula sejak tahun 1859, dan dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari, telah mewarnai awal hidupnya. Karenanya, masa kecilnya telah lekat dengan nuansa perjuangan melawan kolonialisme Belanda.

Terlahir sebagai cucu Pangeran Antasari, seorang pejuang perang melawan Belanda di Kalimantan Selatan. Putri dari Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari ini bergelar Ratu Zaleha. Gelar ini diberikan tersebab seutas cincin yang diberikan ayahnya sebelum ayahnya wafat. Cincin yang hanya boleh dipakai oleh seorang Raja. Dan kala itu ayahnya, adalah seorang Raja Kerajaan Banjar yang terusir oleh Belanda. Dan sejak ayahnya mangkat, gelar Ratupun disematkan pada Zaleha. Sehingga namanya menjadi Ratu Zaleha.

Ratu Zaleha mewarisi darah bangsawan dari kakeknya, sekaligus darah seorang pejuang yang gigih mengusir serdadu Belanda keluar dari Bumi Lambung Mangkurat. Meski ditakdirkan sebagai perempuan, namun tak menghalanginya untuk mengangkat senjata dan bergerilya melanjutkan perjuangan ayah dan kakeknya.

Hingga beranjak remaja, Ratu Zaleha telah ikut berjuang bersama ayahnya. Keluar masuk hutan di Kalimantan guna menyusun strategi penyerangan terhadap penjajah Belanda. Dia juga meraih dukungan perjuangan dari suku-suku Dayak pedalaman, suku asli di Kalimantan.

Ada suku Dayak Dusun, Kenyah, Ngaju, Kayan, Siang, Bakumpai, Suku Banjar. Dan salah seorang tokoh perempuan Dayak Kenyah, bernama Bulan Jihad yang menjadi muallaf, ikut berjuang bersamanya.

Berdua dengan Bulan Jihad, Ratu Zaleha juga memberikan pengajaran kepada masyarakat Banjar.  Dia yang cerdas mampu mengajari anak-anak baca tulis huruf Arab Melayu dan ajaran agama Islam. Mereka berdua juga memberikan pendidikan tentang Islam dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya kepada perempuan-perempuan Banjar yang terjajah oleh Belanda.

Kehidupan perjuangan dilaluinya dengan penuh semangat. Keluar masuk hutan, mendaki dan menuruni pegunungan sudah biasa dilakukannya. Apalagi dia menikah dengan seorang pejuang pula. Gusti Muhammad Arsyad, lelaki beruntung yang mempersuntingnya. Dari keturunan yang segaris dengannya.

Pasangan Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad memiliki satu kakek yang sama, yaitu Pangeran Antasari. Ayah kedua sejoli ini bersaudara. Mereka anaknya Pangeran Antasari dari ibu yang berbeda,  yaitu Gusti Muhammad Seman dan Gusti Muhammad Said. Semua dari keluarga kerajaan Banjar. Dan kehidupan perjuanganpun semakin menggelora dalam keluarganya, meski seharusnya mereka semua berada dalam istana. Namun, hidup di benteng-benteng pertahanan yang selalu berpindah-pindah justru lebih mereka pilih. Daripada menyerahkan urusan hidupnya di tangan kolonial Belanda.

Semangat perjuangan dari sang kakek tetap dipegang teguh keluarga Ratu Zaleha ini. Slogan perjuangan  "Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing" yang digaungkan kakeknya pertama kali, telah tertanam kuat dalam dirinya. Apalagi kolaborasi kekuatan jiwa ayah dan suaminya dalam perjuangan ini membuat Ratu Zaleha tak pernah berpatah arang dalam berjuang. Hingga dia mendapat julukan macan wanita yang terus melawan Belanda.

Kegigihannya dalam perjuangan ini membuat Belanda terus memburunya. Dia telah jadi target utama Belanda, karena Belanda menganggap kelompok keluarga _Pegustian_ (sebutan untuk kaum bangsawan Banjar) berbahaya bagi posisinya. Berbagai macam cara dan taktik diupayakan Belanda. Namun Ratu  Zaleha dan kelompoknya belum tertangkap jua.

Hingga pada tahun 1905 terjadi pertempuran sengit antara pasukan Ratu Zaleha dan ayahnya dengan Belanda. Dua kelompok ini berhadapan dan saling baku tembak. Pasukan Ratu Zaleha bertahan di benteng Manawing, Kalang Barah-Sungai Manawing di lembah Sungai Barito. Pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Hans Christoffel, seorang pemimpin yang berpengalaman di medan tempur Perang Aceh.
Kondisi alam di Sumatera yang mirip dengan Kalimantan, membuat  pasukan tentara marsose Belanda mampu menandingi kelihaian perang gerilya pasukan Ratu Zaleha.

Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Meski segala daya upaya telah dikerahkan oleh seluruh pasukan Ratu Zaleha, namun takdir telah dituliskan. Ayahandanya tercinta Sultan Muhammad Seman gugur. Kesedihan mendalampun dirasakan Ratu Zaleha. Belum kering airmatanya tersebab sebelumnya suami terkasih dipaksa menyerahkan diri pada Belanda. Karena terdesak tak mampu melawan lagi, akhirnya sang suamipun rela diasingkan ke Buitenzorg (sekarang kota Bogor) pada 1 Agustus 1904.

Gugurnya Sultan Muhammad Seman menandai Perang Banjar berakhir, dimana benteng Manawing berhasil dikuasai Belanda. Hal ini memaksa Ratu Zaleha dan pasukannya, juga Nyai Salmah, ibunya untuk menyelamatkan diri. Meski airmata tak mampu disembunyikan, tetapi kekuatan jiwanya menuntutnya untuk tidak menyerah kepada lawan begitu saja. Tak pernah sekalipun airmatanya menetes karena penyesalan memilih jalan perjuangan ini.

Mereka memasuki daerah Lahey, kemudian lanjut ke Mea.  Ini merupakan sebuah perkampungan di tepian Sungai Barito,  tepatnya di daerah Teweh Hulu. Daerah ini dipandang cukup aman karena terisolir. Merupakan daerah pedalaman Kalimantan yang sulit ditembus bagi para pendatang dari luar yang tak kenal medannya.

Perjuangan belumlah usai. Belanda terus mengejar Ratu Zaleha. Posisinyapun tercium oleh Belanda. Ratu Zaleha tak kenal takut. Dengan bersenjatakan kelewang, senjata khas Kalimantan, diapun menebas leher para serdadu Belanda. Keberaniannya patut ditiru. Bahkan saat Belanda membakar hutan disekeliling persembunyiannya, dia tetap berusaha melakukan perlawanan.

Dia lari dan bersembunyi di salah satu rumah penduduk. Pemilik rumahpun membukakan pintu dan memberikan pelayanan padanya. Dipersilakan mandi dan disediakan baju ganti oleh si pemilik rumah. Tetapi, kebaikannya ternyata semu. Seusai Ratu Zaleha mandi dan telah wangi, ternyata pasukan Belanda telah menantinya. Diapun tak mampu berkutik lagi. Berpasrah diri pada Illahi saat dibawa pergi oleh sang penjajah. Ternyata, si pemilik rumah telah berkhianat pada perjuangan rakyatnya sendiri.

Ratu Zalehapun diasingkan ke Buitenzorg, menyusul suami tercinta. Begitupun ibunya, Nyai Salmah. Merekapun melewati hari-hari tuanya di pengasingan selama 30 tahun lebih. Di tahun 1937,  Belanda memulangkannya ke Banjarmasin.

Kondisi fisik yang mulai menua menyebabkan dia mulai sakit-sakitan. Begitupun sang suami. Dan manusia tak mampu menghalangi kala ajal datang menjemput. Gusti Muhammad Arsyad kembali keharibaanNya pada tahun 1941. Sementara Ratu Zaleha menyusul kemudian di tahun 1953, tepat pada tanggal 24 September. Dia dimakamkan di Komplek Makam Pahlawan Perang Banjar di Jalan Masjid Jami Banjarmasin. Berdekatan dengan kakeknya, Pangeran Antasari.

Ratu Zaleha adalah simbol kekuatan seorang perempuan. Kekuatan perjuangan dalam melawan penjajahan. Pengorbanan dan keteguhan hatinya layak ditiru oleh para pejuang saat ini. Khususnya para pejuang penegakkan syariat Islam. Dimana keberanian, kekokohan jiwa dan keyakinan akan kemenangan tergambar jelas dalam episode kehidupan Ratu Zaleha ini. Dialah satu mutiara dari Bumi Lambung Mangkurat. []

Laila Thamrin
Praktisi Pendidikan
(20072018)

Sumber :
1. http://pahlawanbanua.blogspot.com/2017/10/ratu-zaleha-aluh-idut-ketangguhan-2.html?m=1

2. http://googleweblight.com/i?u=http://kabarbanjarmasin.com/posting/ratu-zaleha-pahlawan-wanita-dari-kalimantan.html&hl=id-ID

3. https://googleweblight.com/i?u=https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ratu_Zaleha&hl=id-ID

4. http://suluhbanjar.blogspot.com/2011/09/ratu-jaleha-srikandi-gagah-berani-dalam.html?m=0

#PR3
#FeatureBiografi
#PahlawanBanjar
#PejuangPerempuan
#PerempuanHebat

1 komentar:

  1. MasyaAllah Pejuang Islam teladan, selevel Cut Nyak Dien. Terharu membacanya, almarhum nenek kami yg juga keturunan Banjar (anak dari Goesti Khadijah / Gusti Dijah, mungkin msh cucu / klg Banjar sebagaimana yg almhmh sering tuturkan semasa hidupnya, katanya terkait alm. bp. Antasari, wallahu aklam) selalu membanggakan kebanjarannya. Semoga Banjar selalu dlm keberkahan Allah ta'ala (suatu hari ingin kiranya jenguk tanah Banjar ini). Trims bu postingannya. Salam hormat (abdulkadir.ta70@gmail.com)

    BalasHapus