Minggu, 12 Desember 2010

Melatih Kemandirian Anak


A.   Definisi Mandiri
Dalam masyarakat biasanya mandiri diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk memenuhi keperluannya sendiri, baik pada anak maupun orang dewasa. Misalnya : mampu mandi sendiri, mampu makan sendiri, mampu memakai pakaiannya sendiri, dan sebagainya.
Sedangkan dalam kacamata Islam, seseorang dikategorikan mandiri apabila orang tersebut mampu memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan fisik (hajatul udhowiyah) maupun kebutuhan nalurinya (gharaiz), yang dilakukannya sendiri sesuai dengan aturan Islam dan tanpa banyak tergantung dengan orang lain. Misalnya : mampu makan sendiri dan memilih makanan yang halalan thoyyiban, mampu memakai pakaian sendiri dan menutup auratnya dengan benar, mampu mengendalikan amarahnya ketika muncul atau menyalurkannya dengan benar, dan sebagainya.
Mungkin kita bisa memperhatikan, sejauh ini anak-anak kita kira-kira sudahkah mengarah pada kemandirian? Dan apakah Islam sudah menjadi ukuran dalam kemandirian mereka?

B.   Beberapa hal yang menyebabkan anak tidak mandiri
 1.    Adanya kekhawatiran yang berlebihan dari orang tua terhadap anaknya.
Misalnya : ortu suka melarang anaknya untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya bias dikerjakan anak meskipun belum sempurna. Seperti anak tidak boleh makan sendiri karena khawatir tumpah dan berhamburan, anak tidak boleh mandi sendiri karena khawatir masuk angin, menghambur-hamburkan sabun dan air,  atau anak tidak boleh turun naik tangga (kalo rumahnya bertingkat) karena khawatir terpeleset dan jatuh. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.
2.    Orang tua yang sering membatasi dan melarang anaknya berbuat sesuatu secara berlebihan.  Biasanya dengan ungkapan : “jangan ….”, atau “tidak boleh…..”. Misalnya : “Nanda jangan  naik turun tangga.” 
3.    Kasih sayang orang tua yang terlalu berlebihan.
Semua orang tua pasti sayang pada buah hatinya. Namun ungkapan kasih sayang yang berlebihan kadang membuat anak menjadi sangat manja dan tidak mandiri. Bentuk ungkapan kasih sayang itu biasanya dalam bentuk pemenuhan semua keinginan anaknya, tanpa melihat lagi apakah memang diperlukan atau tidak untuk anak.

C.    Cara-cara melatih anak agar bisa mandiri
Agar anak-anak kita bisa menjadi mandiri ada beberapa cara untuk melatihnya, diantaranya :
1.    Memberikan pemahaman sesuai dengan tingkat perkembangan (kemampuan) akalnya.
Tahap perkembangan akal :
a.    0 – 2 th :
v  Memberikan informasi dan fakta sebanyak2nya, dan sering di ulang2
v  Pemberian kata-kata yang positif, mis : “Subhanallah, anak ummi cantik sekali sesudah mandi hari ini.” 
v  Pengucapan kata-kata oleh ortu dengan lafadz yang jelas dan benar, mis : Susu, bukan tutu.
b.    2 – 5 th :
v  Melatih proses berpikir dgn memberikan pertanyaan2 yg  menggugah pemikirannya, spt : mengapa air hujan turun dari langit?
v  Memberikan permainan2 yang merangsang akalnya untuk berpikir, spt : menyusun balok2, puzzle, dll.
v  Melatih disiplin sikapnya, sperti buang sampah pada tempatnya, mengajak sholat, dll.
c.    5 – 6 th :
v  Membiasakan suasana berpikir pada anak dalam setiap kesempatan (dgn selalu menanyakan alasan2 dia mengerjakan sesuatu, mis : mengapa tidak mau mandi? mengapa suka memukul? Dsb)
v  Memberikan informasi-informasi ttg aqidah, syariat dan akhlak.
v  Membiasakan anak suka menghafal do’a2 harian, hadits, ayat-ayat al qur’an.
v  Membiasakan mengucapkan kalimat2 thoyyibah dan makna2nya
v  Membiasakan melakukan kewajiban secara teratur, seperti sholat, puasa, amar ma’ruf nahyi munkar,  berbuat baik pada ibu-bapak dan saudara, dll
v  Membiasakan berakhlak yang baik, sperti tidak berdusta, tidak sombong, rajin, dsb
d.    6 – 7 th :
v  Anak sudah dibiasakan disiplin waktu untuk melaksanakn beban-beban hukum syara, seperti sholat pada waktunya, puasa sehari penuh, mengatur waktu2 utk bermain dan belajar, dll.
v  Sudah biasa dengan hafalan do’a, hadits, ayat-ayat Al Qur’an, bacaan sholat, dll.
v  Sudah dibiasakan dengan aturan2 dan dijelaskan tujuan membuat aturan tersebut, serta konsekuensi jika anak melanggarnya, mis : jika tidak sholat zuhur terlebih dahulu maka anak tidak boleh makan siang, jika hafalannya belum  lancar tidak akan diajak kerumah nenek, dll.
v  Sudah menumbuhkan rasa takut karena Allah, bukan karena ortu atau guru, mis : jika tidak sholat maka Allah tidak suka pada kita, kalo Allah sudah tak suka bisa jadi kita tak dimasukkanNya ke dalam surga.
v  Mulai belajar menulis, membaca dan berhitung.
e.     7 – Baligh :
v  Sudah terbiasa untuk selalu berpikir ketika mengerjakan sesuatu, mis : ketika makan selalu memilih yg halal dan thoyyib.
v  Sudah terbiasa mengerjakan kewajiban individu seperti wudhu dan sholat, puasa, berbuat baik pada ortu, guru, saudara dan orang2 yg lebih tua, menutup aurat dgn benar,dsb.
v  Sudah terbiasa berakhlak yg baik dan senantiasa memperhatikan adab2 yg baik, spt suka menolong saudara, suka bersedekah, selalu jujur, bias mengendalikan amarah, dsb.

2.    Berbuatlah secara bijaksana.
Maksudnya, janganlah kita memaksa anak untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu, kecuali hal itu berbahaya atau tidak sesuai dengan syari’at. Mengajarkan apa pun kepada anak mesti kita perhatikan kondisi mereka. Jika mereka dalam keadaan senang (enjoy) biasanya semua pengajaran kita mudah diserap oleh anak.

3.    Memberikan kasih sayang secara wajar, tidak berlebihan ataupun kurang.
Kasih sayang wujudnya tidak semata-mata dengan hadiah atau materi. Perlakuan yang baik dan perhatian yang penuh terhadap anak sebenarnya adalah wujud dari kasih sayang. Namun jika ortu ingin menunjukkannya dengan bentuk materi berupa hadiah atau yang lainnya itupun sah-sah saja. Asalkan tidak menjadi kebiasaan sehingga yang terbentuk dalam pikiran anak bahwa orang tua sayang jika semua keinginannya dipenuhi, sehingga muncullah sosok anak yang manja, malas dan egois. Memberi pujian, kata-kata positif atau ciuman pada anak sebagai wujud kasih sayang sepertinya lebih bermakna pada anak daripada sekedar materi yang berlebihan. Namun miskin kasih sayang justru akan membuat anak merasa tidak diperhatikan, tidak dihargai, sehingga bias jadi membuat anak menjadi bandel, jahat dan sifat-sifat buruk lainnya.

4.    Memberikan pendidikan secara tegas kepada anak.
Konsisten terhadap apa yang sudah diajarkan kepada anak. Tentunya pengajaran yang dimaksud adalah yang sesuai dengan syari’at Islam. Dan kerjasama antara ayah dan ibu sangat diperlukan. Misal : anak diajarkan untuk tidur terpisah pada usia 7 atau 8 tahun. Diawal pengajaran bisa jadi anak akan menangis ketika tidur sendiri. Tapi orang tua tetap memberikan pengertian dan penjelasan mengapa tidurnya harus terpisah dg ortu, serta memberikan rasa aman pada anak, bukan dengan mengalah dan membiarkan anak kembali tidur bersama ortunya. Ketegasan sikap ortu ini akan memunculkan keberanian dan kemandiriannya untuk bisa tidur sendirian.

D.   Kesimpulan
Kemandirian anak bisa dibangun sejak usia dini dengan arahan dan bimbingan orang tua. Orang tua perlu memberikan contoh yang baik pada anak. Orang tua juga harus memberikan kesempatan pada anak untuk mempraktekkan kemandirian tersebut ketika anak berupaya memenuhi kebutuhan2nya. Dan jangan lupa berikan reward (penghargaan) pada anak ketika ia telah mampu melaksanakannya, sehingga muncul rasa percaya dirinya.

Wallahu’alam bish showwab.